Selasa, 31 Juli 2012

Viro, Live the Moments

Mendesain Hidupku Dengan Keringat nya

Menggiring sapi-sapi menuju padang rumput yang masih berembun dengan kabut yang cukup pekat di ujung jalan adalah rutinitas yang menyenangkan sekaligus melelahkan disetiap hari libur ku. Seperti liburan akhir Juli sebelumnya, liburan Juli itu pun merupakan momen paling berharga untuk belajar menghargai setiap tetes keringat orang tua, saat untuk belajar mencari uang.

Pagi itu Mamak sedang sibuk menyiapkan bekal untuk dibawa ke kebun pagi itu, sedang Bapak sedang mengasah parang di samping rumah. Sapi-sapi dengan asyiknya merumput, beberapa anaknya berlarian, meloncat-loncat kegirangan. Matahari masih bersembunyi dibalik awan pagi, sesekali ia menyapa bumi dengan senyuman hangatnya. "Ini hari yang tepat untuk bekerja", bisik ku.

Berangkat ke kebun yang berjarak 2 kilometer merupakan hal yang biasa, menuruni tebing curam yang licin karena hujan semalam serta melewati satu sungai kecil yang jernih, sungai yang langsung mengalir dari mata Bukit Kaba, nama sebuah gunung di kota kecil Curup, Bengkulu.

Aku berulang kali jatuh karena jalan setapak yang licin, Mamak hanya tertawa melihat ku. Bapak sudah jauh didepan, langkahnya tegap, ia membawa sebilah parang yang digantungkan di pinggangnya. Baju Bapak sudah robek, tapi setiap kali aku bilang, "Pak, pakai baju yang lain saja", beliau selalu menjawab, "Yang ini lebih enak".

Sejauh mata memandang, bedengan sayuran membentuk pola yang cantik, cabai yang baru ditanam kemarin mulai tegak berdiri, tanaman kol nan hijau terhampar diantara kacang panjang yang Mamak tanam. Ya, Mamak dan Bapak memakai sistem tumpang sari.

Aku mulai mengangkut pupuk kandang dan mencampur nya. sedang Mamak sibuk menuangkan pupuk kandang, campuran kotoran ayam dan sapi kedalam lubang-lubang yang baru aku buat dengan sebuah kayu panjang yang diruncingkan ujungnya. Tanganku mulai melepuh, sepertinya kapalan. Kasar dan panas, ah pantas saja, setiap aku sungkem berangkat sekolah, tangan Bapak dan Mamak begitu kasar, ini penyebabnya.

Mamak tersenyum melihat ku yang sibuk meniup telapak tanganku, "Kenapa nak, tangannya melepuh ya?, istirahat dulu sana di pondok. Ambilan air putih yang Mamak rebus di panci tadi ya", "Iya Mak", tawa ku sambil berlari kecil menuju pondok, lalu membawakan satu gelas air putih dingin untuk Mamak yang sedang beristirahat dibawah pohon kopi tua. Kini giliranku untuk menaburkan pupuk kedalam lubang-lubang itu, uh baunya luar biasa.

Senja hampir tiba, beberapa petani pulang sambil menggendong keranjang kecil di punggung dengan beberapa sayuran didalamnya. Bapak dan Aku menyabit rumput yang dijuluki King Grass yang Bapak tanam di dekat sungai. Aku mulai mengumpulkan rerumputan itu, dan mengikatnya dengan dua buah tali yang dibuat dari karung. Tanganku tergores rumput yang tajam, dan bulu-bulu halus rumput itupun gatal sekali di leher dan tanganku. Aku mulai menggendong rumput itu, mungkin beratnya 60 kilogram. "Sedikit saja nak rumput nya, sini Bapak kurangi", kata Bapak  melihatku sedikit tergopoh-gopoh."Tak apa Pak, kuat kok", ujar ku keras kepala.

Saat mendaki jalan terjal nan curam, aku sudah mulai kelimpungan. Keringat bercucuran dan pinggang ku terasa copot. "Ah, tadi keras kepala", ujar ku lirih. Bapak sudah sampai di rumah mungkin. Sementara aku masih ditengah perjalanan. Aku berulang kali jatuh dan rumput yang ku bawa menggelinding kebawah, daun nya kotor, aku mulai frustrasi dan hampir saja menangis. "Ah, jangan kalah", teriak ku.

Senja sudah sepenuhnya turun, aku masih berusaha naik mencapai jalan setapak di ujung tebing. Dengan susah payah aku kembali menggendong rumput, ketika suara Bapak memanggil namaku dari atas tebing. Ia tersenyum menghampiri aku, "Waduh, pantas anak Bapak belum pulang dari tadi, ternyata disini ya. Nah, lain kali jika Bapak bilang sedikit saja rumput nya, jangan keras kepala ya", dengan cekatan Bapak menggendong rumput yang aku bawa tadi. Aku berjalan di belakangnya, sambil menetaskan air mata. "Ternyata susah ya orang tua ku cari duit", bisik ku dalam hari. Bintang-bintang diatas melihat betapa indahnya kebaikan yang aku dapat di akhir Juli ini, "Besok bantu orang tua lagi ya" ujarnya.

Courtesy: ajiyogya.wordpress.com

***
Sekarang aku sedang duduk di dalam sebuah kantor yang sejuk sambil memandangi pintu kaca besar yang langsung menghadap jalan raya yang panas. Delapan tahun telah lewat, dan tanpa Bapak dan mamak, aku tidak ada disini sekarang. Menikmati pekerjaan yang mereka desain lewat keringat yang mereka cucurkan. Tak perlu lagi ada kapalan di tangan, atau gatal dan kemerahan di leher serta aroma pupuk kandang yang menyengat.
Terimakasih Bapak, terimakasih Mamak. 

Mamak = Ibu




Senin, 23 Juli 2012

Cherry Blossom

Berdiri dibawah Cherry blossom yang mekar bak mahkota-mahkota kecil di taman kota, aku menatap kerumunan manusia yang sedang menikmati aroma musim semi di kota ini. Sajak-sajak kecil akan segera berakhir, hujan akan menggurkan bunga-bunga ditaman ini seketika. Namun aku ingin melihatnya, melihat keajaiban saat kelopak-kelopak indah itu melayang beradu dengan hujan musim semi yang hangat. 

Pernahkan kau ke taman kota ini? menikmati harumnya parfum termanis alam yang membelai lebut syaraf-syaraf hidungmu? jika belum. Ayo mari jalan bersamaku. Tutup matamu sejenak, rasakan kau berada bersamakau, memandangi pohon-pohon sakura yang memagari taman -taman kecil berisi hidragea ungu. rasakan udara itu membelai pipimu, dingin kan?, kau bia meggerak-gerakan bahumu keatas seraya mencium udara yang wangi. Lihatlah, beberapa kelopak bunga menari-nari di udara. Berputar-putarlah diantaranya jika kau mau. Mengasikan bukan?

Santailah sejenak, nikamti musik favorite mu disini, nukmatilah secangkir kopi cappuccino dan sepotong pizza. Kuatkanlah syal mu dileher dan bermain-mainlah diantara angin ditaman itu. Lihatlah boots kesukaanmu, goyang-goyangkalah kakimu. Nyaman bukan? 

Sekarang kau sudah bersamaku, menikmati Cherry blossom di taman kota, melihat kerumunan anak-anak yang asik bermain kincir-kincir kertas. Lihatlah mereka, asik mengayuh sepeda, naik sekuter kecil mereka. Para orang tua asik menggelar tikar dan menikmati bekal mereka. Sepertinya lezat sekali ya, ngomong-ngomong kau bawa bekal mu tidak? jika tidak, ayo makan bekal bersama ku disini. Aku bawa roti gulung dan nasi kepal berisis daging ayam dan kentang goreng mentega. Oh ya, ada 2 botol soft-drink low fat disana, mari menikmatinya.

  

Menyesali Penghianatan

Aku tidak akan kembali ke Desember itu, dimana kau berbalik arah untuk menarik tangannya dan meninggalkan aku di ujung jalan berbatas alamanda. Aku tidak menyalahkan cintamu, tapi aku salut dengan keputusan meninggalkan akau demi sesuatu yang kau sebut "masa depan". Aku tau sejak awal, ada keraguan dibalik matamu yang sendu. 

Asal kau tau, aku tidak akan mengiba dan memintamu kemabli. Memang sempat aku menangis, tapi itu hanya sekali. Saat jantung ini kau tusuk dengan kata-kata "kita tak bisa bersama". Ini memang takdir, dan kau bukan pilihan Tuhan untukku. Jadi jagan kau paksa kau untuk mengulang kembali Desember beku itu. Tak ada untungnya untukku kembali kesana. 

Mana masa depanmu? mengapa kini kau memutar badan dan kembali ke barisan alamanda itu? kenpa? apakah masa depanmu itu sudah sirna ditelan harapan-harapan kosong?, maaf aku tak akan meraih tanganmu untuk yang kedua. Kau fikir mudah melupakan 4 tahun pertama yang indah? apa kau fikir mudah melupakan 1 tahun berikutnya yang kau bagi kepadanya? mendua?, aku rasa tidak.

Aku sudah jengah dengan air mata itu, percuma, tidak akan mengembalikan rasa. Sekarang aku tidak sendiri, ia mampu menambal semua sakit hati. Aku tidak akan melakukan hal yang sama, meninggalkan dia untuk mu, tidak akan pernah. Sekarang enyahlah, sudahi tangismu dan menyerah. Serahkan cintamu kepada yang lain, yang punya segala-galanya. 

Asal kau tau, aku bukan laki-laki bodoh, yang mampu diperdaya. Aku sudah cukup dewasa mengenal semua sifat mu yang parah. Cukuplah satu kali itu saja aku kau buat tidak berharga. Hidup diantara 2 cinta yang aku tau, akulah si minor nya. Yah, mau bilang apa, nasi telah menjadi bubur, hidup mu dan hidupku telah menjadi tragedi.

Jangan mengiba lagi, tutuplah semua pintu harapanmu dan buanglah jauh-jauh keluh kesahmu. Nikmatilah buah penghianatan yang kau buat. Takperlu ada kata-kata penyesalan untuk kau desahkan. Tak penting bagiku, karena kau yang telah memilih. Jangan bagi penderitaan itu kepadaku. Rasanya enak kan? tersakiti dan terabaikan.

Jumat, 20 Juli 2012

Andai Hujan Datang

Andai hujan datang, seperti sore-sore kemarin. Pastinya kau akan ada disini, berbagi cerita tenatang masa kecilmu yang lucu. Aku tau, matamu tak mampu berbohong ada kepedihan mendalam saat kau paparkan semua kisahmu. Tak semua kisahmu nyata dan lugu, tak semuanya lucu. 

Aku melihat kekosongan di mata coklatmu, kau sendiri waktu itu. Terpuruk dan sepi. Aku bisa meraba nafas panjang itu, melihat betapa beratnya harimu.  Kau banyak kehilangan masa kecilmu yang seharusnya dipenuhi dengan buayan dan pelukan kasih sayang.

Andai hujan datang, seperi sore-sore yang lalu, tentu kau akan datang dan benyanyi riang, melantunkan sair-sair riang yang sebenarnya hamapa dan berlirik sephia. Bagaimana kau bisa setegar itu kawan, pil apa yang kau makan?. 

Andai hujan sore ini, aku pasti akan balik bercerita tentang diri dan masa kecilku yang haru biru. Kau akan menemukan sesuatu yang sama, sesuatu yang utuh dari kesepian yang diciptakan oleh masing-masing dunia kita. Ketidak adailan yang diciptakan para orang dewasa.

Andai hujan benar-benar datang, akan ada kebaikan antara diri kita. Namun biarlah, senja itu akan jadi lebih indah nantinya. Tak perlu ada hujan sore ini, masing-masing kita akan menemukan jalan untuk kembali bercerita, mengenang dan memeperbaiki semua kegundahan yang pernah ada, menambalnya dengan semua kebaikan dan kedewasaan yang kita bangun saat ini.

Hujan akhirnya tak datang, setelah hati ini berulangkali mengundang. Bola jingga terpampang di ujung barat. Kita kembali bercerita dan semuanya membaik. Kita sudah dewasa...

Cinta Dalam Diam

Mengapa harus diam?, tanyaku. Saat pada akhirnya ia menyerah dan membuka semua rahasia bahwa ia memandam rasa. Aku sudah mencoba memaksanya lewat banyak cara, namun entah mengapa ia tidak peka.
Dan sekarang, siang hari sejam sebelum akad nikahku, semua penyesalan itu mengalir dari bibirnya. 

Aku tak bisa berbuat banyak, menangisi susu yang telah tumpah adalah sebuah kebodohan terencana. Aku hanya terpaku memandangi jedela luar yang telah dipenuhi dengan tamu, berusaha menghilangkan semua kecamuk jiwa tentang rasa cintanya yang baru saja terkuak. Aku menahan diri untuk tidak membiarkan tangan ini menyentuh jemarinya. Takut kegalauan ini semakin meraja dihati, takut kebimbangan meluap di jiwa. 

Aku pandang lekat wajahnya, air mata itu meleleh. Aku tak kuasa, kupalingkan mukaku seraya membendung airmata. Lalu, kutegaskan diri ini, "kamu akan menikah dengan gadis pilihan orang tua". Kupalingkan lagi wajahku padanya, air mata itu semakin menjadi, namun hati ini kemabli berkata, "Jangan seka air matanya, jagan seka". 

Sungguh, dalam diam hati ini teriris, menyadari ada cinta antara dua insan yang terhalang oleh ketidak berdayaan mengunggkapkan cinta. Alangkah bodohnya, setelah sekian lama berteman namun tak ada satupun antara kita terucap kata cinta.

Aku kuatkan diri dengan mengintip pengantinku, apakah ini boleh? tanyaku. Ia gugup menantiku, aku tau ia mencintaiku, dan aku.....entah baru mulai mencinta namun sirna setelah pengungkapan cinta ini. Ku padang lekat ia dari balik tirai, ku abaikan ia yang lain, yang sibuk menyeka air matanya sendiri. Ini lebih baik, lagipula salah siapa tidak mengabilku dengan ungkapan cinta itu. 

Aku tinggalkan ia disana, ku jemput pengantinku dan berjanji akan mencoba mencintainya.
Menyakitkan jika kita mencintai sesorang, namun akan lebih menyakitkan saat kita mencintai orang tersebut namun kita tidak mampu mengungkapkannya.

Saat Diam

Aku sadar bahwa cinta yang ku pendam ini tidak akan pernah aku ungkapkan. Bukan karena aku takut tidak akan ia terima, tapi lebih kepada menjaga diriku dan dirinya untuk berfikir logis bahwa hubungan sedarah itu bukan hal yang seutuhnya diterima.

Aku tau, dalam diam ini ada kesakitan luar biasa yang tak hanya mampu terungkap dengan air mata. Aku memang laki-laki cengeng. Tapi apa daya, kehidupanku telah ditakdirkan dengan jalan mencita orang yang tak semestinya.

Kamu pernah menyadarinya tidak? betapa menyakitkannya cinta dalam diam. Cinta yang kau ingin salurkan namun terhalang neraka, yang ketika kau menyebranginya maka hanguslah tubuhmu, sia-sia. Aku yakin, kau yang memiliki akal sehat akan berfikir sama seperti aku sekarang.

Aku sering berdoa dalam diam, "Tuhan, berilah aku pengecualian terhadap cinta ini". Namun pada akhirnya aku sadar, sesuatu yang telah dituliskan itu tak akan bisa diubah, apalagi dengan manusia seperti aku.

Aku masih berfikir jauh kedepan, bahwa cinta itu tidaklah selamnya cinta, memilah antara hasrat nyata tentang cinta yang sebenarnya dan cinta yang memaksa aku untuk berbuat ketidak adilan untuk ku atau dirinya.

Yah, kau mungkin juga setuju bahwa, mengatas namakan cinta bukanlah selalu sesuatu yang baik. Aku kadang tak tahan untuk mencari celah tentang rasa cinta ini, namun acap kali ketidak berdayaan terhadap ketidak terampilan hati dalam mengungkapkan cinta ini timbul.

Aku tidak mau membuat semuanya semakin ruet. Biarlah aku diam, agar tak seorangpun terlukai. Biarlah cinta dalam diam ini aku yang menempuh. Inilah takdir cinta yang tak mungkin terhapuskan, dan tidak ada pengecualian untuk ku. Mencintai orang yang salah namun cinta tak bisa dipersalahkan.

Ah, entahlah. Biarkan saja aku diam dalam senyap, dan terus mengubur rasa cinta ini dalam heningku. Aku masih terus berharap, dalam diam ini membawa kebaikan untuk semuanya. Lagipula aku ingin melangkah ke jurang surga, bukan neraka.

Apakah kau memiliki fikiran yang sama sepertiku?, semoga saja jawabannya adalah "Ya" dengan alasan yang lebih logis.